Macam-Macam Istihsan
a. Istihsan Qiyasi
Yaitu menggunakan Qiyas khafi (samar) dan meninggalkan Qiyas
jali (nyata) karena ada petunjuk untuk itu.
Istihsan ini terjadi pada suatu kasus yang mungkin dilakukan
padanya salah satu dari dua bentuk qiyas, yaitu qiyas jali dan qiyas khafi.
a. Contoh Istihsan Qiyasi
Menurut Madzhab Hanafi: bila seorang mewaqafkan sebidang
tanah pertanian, maka termasuk yang diwaqafkannya itu hak pengairan, hak
membuat saluran air di atas tanah itu dan sebagainya. Hal ini ditetapkan
berdasar istihsan. Menurut qiyas jail, hak-hak tersebut tidak mungkin
diperoleh, karena mengqiyaskan waqaf itu dengan jual beli. Pada jual beli yang
penting ialah pemindahan hak milik dari penjual kepada pembeli. Bila waqaf
diqiyaskan kepada jual beli, berarti yang penting ialah hak milik itu. Sedang
menurut istihsan hak tersebut diperoleh dengan mengqiyaskan waqaf itu kepada
sewa-menyewa. Pada sewa-menyewa yang penting ialah pemindahan hak memperoleh
manfaat dari pemilik barang kepada penyewa barang. Demikian pula halnya dengan
waqaf. Yang penting pada waqaf ialah agar barang yang diwaqafkan itu dapat
dimanfaatkan. Sebidang sawah hanya dapat dimanfaatkan jika memperoleh pengairan
yang baik. Jika waqaf itu diqiyaskan kepada jual beli (qiyas jali), maka tujuan
waqaf tidak akan tercapai, karena pada jual beli yang diutamakan pemindahan hak
milik. Karena itu perlu dicari ashalnya yang lain, yaitu sewa-menyewa. Kedua
peristiwa ini ada persamaan 'illatnya yaitu mengutamakan manfaat barang atau
harta, tetapi qiyasnya adalah qiyas khafi. Karena ada suatu kepentingan, yaitu
tercapainya tujuan waqaf, maka dilakukanlah perpindahan dari qiyas jali kepada
qiyas khafi, yang disebut istihsan
b. Istihsan Istisnaiy
Yaitu hukum pengecualian dari kaidah-kaidah yang berlaku
umum karena ada petunjuk untuk hal tersebut.
Istihsan Istisnaiy terbagi kepada beberapa macam, yaitu :
1. Istihsan
bin-nash, yaitu hukum pengecualian berdasarkan nash (al-Qur’an atau As-Sunnah)
dari kaidah yang bersifat umum yang berlaku bagi kasus-kasus serupa.
2. Istihsan berlandaskan ijma’, yaitu terjadinya sebuah
ijma’ –baik yang sharih maupun sukuti- terhadap sebuah hukum yang menyelisihi
qiyas atau kaidah umum.
3. Istihsan yang berlandaskan ‘urf (adat/kebiasaan), yaitu
meninggalkan apa yang menjadi konsekwensi qiyas menuju hukum lain yang berbeda
karena ‘urf yang umum berlaku –baik ‘urf yang bersifat perkataan maupun
perbuatan-.
4. Istihsan yang didasarkan atas maslahah mursalah, yaitu
ketika seorang mujtahid melihat ada suatu kedaruratan atau kemaslahatan yang
menyebabkan ia meninggalkan qiyas, demi memenuhi hajat yang darurat itu atau
mencegah kemudharatan..
Contoh Istihsan Istisnaiy :
1. Istihsan bin-nash : hukum jual-beli al-salam. Yaitu
menjual sesuatu yang telah jelas sifatnya namun belum ada dzatnya saat akad,
dengan harga yang dibayar dimuka. Model ini tentu saja berbeda dengan model
jual-beli yang umum ditetapkan oleh Syariat, yaitu yang mempersyaratkan adanya
barang pada saat akad terjadi. Hanya saja, model jual beli ini dibolehkan
berdasarkan sebuah hadits Nabi saw yang pada saat datang ke Madinah menemukan
penduduknya melakukan hal ini pada buah untuk masa satu atau dua tahun. Maka beliau
berkata:
“Barang siapa yang melakukan (jual-beli) al-salaf, maka
hendaklah melakukannya dalam takaran dan timbangan yang jelas (dan) untuk
jangka waktu yang jelas pula.” (HR. Al-Bukhari no. 2085 dan Muslim no. 3010)
2. Istihsan berlandaskan Ijma’ : Di antara contohnya adalah
masalah penggunaan kamar mandi umum (hammam) tanpa adanya pembatasan waktu dan
kadar air yang digunakan. Secara qiyas seharusnya hal ini tidak dibenarkan,
karena adanya ketidak-jelasan (al-jahalah) dalam waktu dan kadar air. Padahal
para penggunanya tentu tidak sama satu dengan yang lain. Akan tetapi hal ini
dibolehkan atas dasar Istihsan pada ijma yang berjalan sepanjang zaman dan
tempat yang tidak mempersoalkan hal tersebut.
3. Istihsan yang berlandaskan ‘Urf : Salah satu contoh Istihsan
dengan ‘urf yang bersifat yang berupa perkataan adalah jika seseorang bersumpah
untuk tidak masuk ke dalam rumah manapun, lalu ternyata ia masuk ke dalam
mesjid, maka dalam kasus ini ia tidak dianggap telah melanggar sumpahnya,
meskipun Allah menyebut mesjid dengan sebutan rumah (al-bait) dalam firman-Nya:
“Dalam rumah-rumah
yang Allah izinkan untuk diangkat dan dikumandangkan Nama-Nya di dalamnya.”
(al-Nur:36)
Namun ‘urf yang berlaku di tengah masyarakat menunjukkan
bahwa penyebutan kata “rumah” (al-bait) secara mutlak tidak pernah digunakan
untuk masjid. Itulah sebabnya, orang yang bersumpah tersebut tidak menjadi
batal sumpahnya jika ia masuk ke dalam masjid. Adapun contoh Istihsan dengan
‘urf yang berupa perbuatan adalah seperti kebolehan mewakafkan benda bergerak
seperti buku dan perkakas alat memasak, berdasarkan adat setempat. Padahal
wakaf biasanya hanya pada harta yang bersifat kekal dan tidak bergerak seperti
tanah.
5. Istihsan yang didasarkan atas Mashlahah Mursalah :
seperti mengharuskan ganti rugi atas penyewa rumah jika perabotnya rusak
ditangannya, kecuali disebabkan bencana alam. Tujuannya agar penyewa
berhati-hati dan lebih bertanggung jawab. Padahal menurut ketentuan umum
penyewa tidak dikenakan ganti rugi jika ada yang rusak, kecuali disebabkan
kelalaiannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar