Selasa, 28 Januari 2020

Istihsan

Macam-Macam Istihsan
a. Istihsan Qiyasi
Yaitu menggunakan Qiyas khafi (samar) dan meninggalkan Qiyas jali (nyata) karena ada petunjuk untuk itu.
Istihsan ini terjadi pada suatu kasus yang mungkin dilakukan padanya salah satu dari dua bentuk qiyas, yaitu qiyas jali dan qiyas khafi.
a. Contoh Istihsan Qiyasi
Menurut Madzhab Hanafi: bila seorang mewaqafkan sebidang tanah pertanian, maka termasuk yang diwaqafkannya itu hak pengairan, hak membuat saluran air di atas tanah itu dan sebagainya. Hal ini ditetapkan berdasar istihsan. Menurut qiyas jail, hak-hak tersebut tidak mungkin diperoleh, karena mengqiyaskan waqaf itu dengan jual beli. Pada jual beli yang penting ialah pemindahan hak milik dari penjual kepada pembeli. Bila waqaf diqiyaskan kepada jual beli, berarti yang penting ialah hak milik itu. Sedang menurut istihsan hak tersebut diperoleh dengan mengqiyaskan waqaf itu kepada sewa-menyewa. Pada sewa-menyewa yang penting ialah pemindahan hak memperoleh manfaat dari pemilik barang kepada penyewa barang. Demikian pula halnya dengan waqaf. Yang penting pada waqaf ialah agar barang yang diwaqafkan itu dapat dimanfaatkan. Sebidang sawah hanya dapat dimanfaatkan jika memperoleh pengairan yang baik. Jika waqaf itu diqiyaskan kepada jual beli (qiyas jali), maka tujuan waqaf tidak akan tercapai, karena pada jual beli yang diutamakan pemindahan hak milik. Karena itu perlu dicari ashalnya yang lain, yaitu sewa-menyewa. Kedua peristiwa ini ada persamaan 'illatnya yaitu mengutamakan manfaat barang atau harta, tetapi qiyasnya adalah qiyas khafi. Karena ada suatu kepentingan, yaitu tercapainya tujuan waqaf, maka dilakukanlah perpindahan dari qiyas jali kepada qiyas khafi, yang disebut istihsan
b. Istihsan Istisnaiy
Yaitu hukum pengecualian dari kaidah-kaidah yang berlaku umum karena ada petunjuk untuk hal tersebut.
Istihsan Istisnaiy terbagi kepada beberapa macam, yaitu :
1.      Istihsan bin-nash, yaitu hukum pengecualian berdasarkan nash (al-Qur’an atau As-Sunnah) dari kaidah yang bersifat umum yang berlaku bagi kasus-kasus serupa.
2. Istihsan berlandaskan ijma’, yaitu terjadinya sebuah ijma’ –baik yang sharih maupun sukuti- terhadap sebuah hukum yang menyelisihi qiyas atau kaidah umum.
3. Istihsan yang berlandaskan ‘urf (adat/kebiasaan), yaitu meninggalkan apa yang menjadi konsekwensi qiyas menuju hukum lain yang berbeda karena ‘urf yang umum berlaku –baik ‘urf yang bersifat perkataan maupun perbuatan-.
4. Istihsan yang didasarkan atas maslahah mursalah, yaitu ketika seorang mujtahid melihat ada suatu kedaruratan atau kemaslahatan yang menyebabkan ia meninggalkan qiyas, demi memenuhi hajat yang darurat itu atau mencegah kemudharatan..
Contoh Istihsan Istisnaiy :
1. Istihsan bin-nash : hukum jual-beli al-salam. Yaitu menjual sesuatu yang telah jelas sifatnya namun belum ada dzatnya saat akad, dengan harga yang dibayar dimuka. Model ini tentu saja berbeda dengan model jual-beli yang umum ditetapkan oleh Syariat, yaitu yang mempersyaratkan adanya barang pada saat akad terjadi. Hanya saja, model jual beli ini dibolehkan berdasarkan sebuah hadits Nabi saw yang pada saat datang ke Madinah menemukan penduduknya melakukan hal ini pada buah untuk masa satu atau dua tahun. Maka beliau berkata:
“Barang siapa yang melakukan (jual-beli) al-salaf, maka hendaklah melakukannya dalam takaran dan timbangan yang jelas (dan) untuk jangka waktu yang jelas pula.” (HR. Al-Bukhari no. 2085 dan Muslim no. 3010)
2. Istihsan berlandaskan Ijma’ : Di antara contohnya adalah masalah penggunaan kamar mandi umum (hammam) tanpa adanya pembatasan waktu dan kadar air yang digunakan. Secara qiyas seharusnya hal ini tidak dibenarkan, karena adanya ketidak-jelasan (al-jahalah) dalam waktu dan kadar air. Padahal para penggunanya tentu tidak sama satu dengan yang lain. Akan tetapi hal ini dibolehkan atas dasar Istihsan pada ijma yang berjalan sepanjang zaman dan tempat yang tidak mempersoalkan hal tersebut.
3. Istihsan yang berlandaskan ‘Urf : Salah satu contoh Istihsan dengan ‘urf yang bersifat yang berupa perkataan adalah jika seseorang bersumpah untuk tidak masuk ke dalam rumah manapun, lalu ternyata ia masuk ke dalam mesjid, maka dalam kasus ini ia tidak dianggap telah melanggar sumpahnya, meskipun Allah menyebut mesjid dengan sebutan rumah (al-bait) dalam firman-Nya:
 “Dalam rumah-rumah yang Allah izinkan untuk diangkat dan dikumandangkan Nama-Nya di dalamnya.” (al-Nur:36)
Namun ‘urf yang berlaku di tengah masyarakat menunjukkan bahwa penyebutan kata “rumah” (al-bait) secara mutlak tidak pernah digunakan untuk masjid. Itulah sebabnya, orang yang bersumpah tersebut tidak menjadi batal sumpahnya jika ia masuk ke dalam masjid. Adapun contoh Istihsan dengan ‘urf yang berupa perbuatan adalah seperti kebolehan mewakafkan benda bergerak seperti buku dan perkakas alat memasak, berdasarkan adat setempat. Padahal wakaf biasanya hanya pada harta yang bersifat kekal dan tidak bergerak seperti tanah.
5. Istihsan yang didasarkan atas Mashlahah Mursalah : seperti mengharuskan ganti rugi atas penyewa rumah jika perabotnya rusak ditangannya, kecuali disebabkan bencana alam. Tujuannya agar penyewa berhati-hati dan lebih bertanggung jawab. Padahal menurut ketentuan umum penyewa tidak dikenakan ganti rugi jika ada yang rusak, kecuali disebabkan kelalaiannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar